Master Takashi
Sejarah PSTD (kateda)
Sejarah kateda sebagian besar tidak diketahui publik, sebagaimana pengetahuan publik tentang keberadaan kateda itu sendiri.
Kateda
dinyatakan berumur setidaknya 3000 tahun, bahkan mungkin 10,000 tahun,
yang menandakan munculnya di akhir Jaman Es. Kateda dinyatakan berasal
dari Tibet. Sejumlah seni bela diri Tibet yang lain, atau seni Bod,
dapat diketahui, seperti Seamm-Jasani, Baobom, Yaanbao dan Sung-Thru
Kyom-Pa yang sangat tidak jelas (disebut juga Amaree). Seam-Jasani
dianggap berumur 10,000 tahun, yang berasal dari Bod kuno (Sebutan
Tibet bagi orang Tibet) atau Peuyul (nama kuno yang dipakai sebelum
Tibet Modern, yang berarti “Tanah Bersalju” atau “Tanah para Dewa”
dalam bahasa Tibet), dan dilakukan di iklim Himalaya luar, jadi
pernyataan umur Kateda barangkali tidak semustahil anggapan awal. Namun
Kateda (seperti seni Sindo) mungkin hanyalah sebuah reformulasi Pentjak
Silat, atau Kuntao Silat.
Disebutkan bahwa Kateda hilang
dan setelah sekian lama ditemukan oleh seorang penyendiri dari daerah
Himalaya bernama Tagashi (atau Takashi). Tahun 1907, pada umur 20,
Tagashi sedang berkelana di Tibet Utara. Disana dia disebut telah
menemukan buku berbungkus kulit ditulis dengan bentuk simbol. Selama 40
tahun berikutnya ia mempelajari buku tersebut dan meneliti asal buku
itu, membandingkannya dengan buku-buku kuno lainnya yang dimiliki oleh
orang Tibet, Nepal, dan Himalaya. Dia menarik kesimpulan bahwa “Tujuh
Rahasia”—nama yang ia beri pada buku tersebut—dimana simbolnya telah
diterjemahkan menjadi 7 huruf yang berbeda, berasal dari “sebuah masa
dimana perang tidak ada”.
Dia mendeskripsikan ajaran
tersebut sebagai “anatomi struktural dari tenaga dalam manusia,
dibangun oleh tujuh unsur paling murni dalam tenaga dalam alami”.
Pengetahuan
ini digunakan untuk perlindungan terhadap lingkungan yang liar, dan
juga memelihara kedamaian dan harmoni. Dengan diciptakannya senjata
perang, ajaran di dalam buku itu makin jarang digunakan, hingga
akhirnya dilupakan seluruhnya. Dia juga menulis “Buku Tujuh Rahasia ini
mengandung kekuatan atom tubuh manusia dan kekuatan naluri manusia.
Tenaga dalam ini terbagi dalam tujuh bagian yang alami dan murni. Pada
jaman dahulu kekuatan dan pengetahuan ini digunakan hanya untuk
perlindungan hidup dan kenyamanan manusia, contohnya menghadapi alam
liar, binatang buas, hawa dingin dan panas dan bahkan untuk kedamaian
dan harmoni antara manusia.
Tagashi percaya bahwa
pelajaran buku tersebut dan ilmu kateda tidak boleh disalahgunakan,
menyumpahkan semua murid-muridnya untuk menjaga rahasia. Tahun 1947
Tagashi memutuskan untuk mengikuti peta yang ditunjukkan pada
halaman-halaman terakhir buku tersebut, menganggap ini adalah
perjalanan yang dilakukan orang atau orang-orang yang terakhir memiliki
buku tersebut, untuk mencegahnya dihancurkan.
Pada saat
ini pandangannya telah berubah dan dia percaya bahwa Tujuh Rahasia
harus dibagi dengan yang lain; berlawanan dengan keteguhannya akan
kerahasiaan sekarang dia ingin semua orang memiliki akses terhadap
pengetahuan ini tapi dia terlihat bimbang tentang ini pada saat-saat
tertentu (atau barangkali ceritanya pudar seiring dengan waktu).
Selama
16 tahun perjalanannya melalui Nepal, India, Thailand, Malaysia dan
Indonesia dia mengajar sekitar 200 murid. Ajarannya diberikan secara
rahasia untuk mencegah penyalahgunaan pengetahuan bela diri. Semua
diharuskan bersumpah untuk menjaga kerahasiaan, khususnya mereka yang
dapat memukul benda padat tanpa rasa sakit atau luka. Mereka juga harus
mengembangkan rasa tanggungjawab mereka mengenai pengetahuan ini,
dengan mengajari yang lain diawasi oleh Tagashi.
Tahun
1963 Tagashi dan 30 Master sampai pada Gunung Bromo, Jawa Timur,
Indonesia. Disini dia menemukan arti “Inner Vision” dan “Inner Voice”
dengan melihat bayangan-bayangan: pada sisi kawah dia melhat simbol yang
sama dengan yang dijelaskan dalam buku. Ini membentuk basis anggapan
dia bahwa Rahasia Ketujuh dapat diraih dengan metoda bela diri.
Sejak
saat itu tujuan Tagashi adalah menetap di Gunung Bromo dan mencari
rantai atau metoda yang memisahkan kemampuan yang telah dia dapatkan
dari pengetahuan yang utama—Rahasia Ketujuh. Selama dia tinggal pada
tahun 1963-9 beberapa murid dari Indonesia menemui Tagashi. Mereka
menetap bersamanya dan ketika mencapai tingkat Master, diberi tugas
membantu Tagashi mencari kunci untuk membuka Rahasia Ketujuh.
Pada
tahun 1969 salah satu Master dari Indonesia mendapat izin dari tagashi
untuk menterjemahkan Tujuh Rahasia ke bahasa biasa, termasuk cara
membuka Rahasia Ketujuh, yang telah ditemukan oleh Master ini. Dia
belum pernah melihat manuskripnya hingga Tagashi memberi dia izin untuk
menterjemahkannya. Izin tersebut diberikan karena Master ini, ketika
berada di Gunung Bromo, mempunyai bayangan yang sama dengan Tagashi
tentang simbol yang dijelaskan di akhir buku. Tagashi sadar bahwa
Rahasia Ketujuh ini dapat diraih.
Cara yang dapat ditempuh
untuk meraihnya disebut Deep Silence, dan membuatnya mampu untuk
mengendalikan pikiran sehingga dapat menghubungi alam bawah sadarnya
dan mencapai Inner Vision dan Inner Voicenya. Selama 3 tahun dari
1969-1972 Master ini menterjemahkan Tujuh Rahasia dalam pengasingan di
Tibet Utara, dimana manuskripnya ditemukan. Pada Maret 1972 Tagashi
menerima terjemahannya. Dia juga setuju untuk mengahpuskan kerahasiaan
tradisionalnya dan menggantinya dengan organisasi pengajaran
terstruktur dengan peraturan-peraturan. Terjemahan dari Tujuh Rahasia
disebut Kateda—yang berarti tingkat tertinggi dari Central Power.
Metoda
pernafasan, pengendalian otot, gerakan fisik, konsentrasi pikiran,
komunikasi hawa Internal Heat, Inner Vision dan Inner Voice, adalah
kata-kata yang digunakan sekarang—menggantikan simbol-simbol manuskrip
asli. Satu-satunya simbol yang dipakai dalam terjemahan adalah nama
Kateda itu sendiri. Huruf-huruf K-A-T-E-D-A diambil dari simbol yang
digambar di halaman paling akhir dari “Tujuh Rahasia”—simbol gunung
bersama dengan garis bantu, juga dalam bentuk simbol, instruksi menuju
mencapai titik tertinggi. Gunung Bromo menjadi seperti “Pusat
Spiritual” Kateda dan disini Master tingkat tinggi dilatih oleh
Grandmaster. Salah seorang murid Indonesia menyebutkan bahwa KATEDA
berasal dari Karate Tenaga Dalam dan sesuai dengan yang digunakan oleh
organisasi Kateda. Setelah itu murid seni Indonesia Agus Nugroho,
mendesain logo yang melambangkan Gunung Bromo dengan kata KATEDA.
Pada
tahun 1976, tanggal 22 Januari, Tagashi meninggal pada usia 89. Dia
dikremasi di kawah Bromo, bersama dengan manuskrip asli. Ini adalah
permintaan terakhirnya. Dia juga meminta siapapun yang menjadi
Grandmaster Kateda baru harus memprioritaskan perdamaian di atas semua
pengetahuan yang dicapai melaui metoda Kateda. Pada saat kematiannya,
sejumlah muridnya tergabung dengannya dalam mencapai Tingkat Ketujuh.
Salah satu murid ini bernama Lionel Henry Nasution, anak seorang
Jenderal Indonesia.
Pada tahun 1977, 5 tahun setelah
pembukaan sekolah Kateda pertama di Indonesia, Kateda
International—organisasi pengajaran utama dari sekolah Kateda—membuka
sekolah di Inggris, dan tiga tahun kemudian pada 1980 di Amerika. Semua
sekolah tersebut dengan cabang-cabangnya disentralisasi dengan nama
“Sekolah Bela Diri Kateda”. Tanggal 5 Maret 1981 Sekolah Bela Diri
Kateda London menjadi pusat semua sekolah Kateda, karena pada saat itu
anggotanya berasal dari budaya dan latar belakang yang berbeda—dari
Inggris, Amerika, Indonesia, Iran, Denmark dan sebagainya. Tahun 1982
ada 30 Master yang memimpin sekolah-sekolah melalui metoda tradisional
seleksi, memastikan permintaan almarhum Grandmaster Tagashi
dilaksanakan.
Tidak begitu jelas apakah Lionel Nasution
meneruskan Tagashi sebagai Grandmaster walau diketahui bahwa Nasution
belajar langsung di bawah Tagashi dan mencapai Tingkat Ketujuh Central
Power dalam bimbingannya di kawah Gunung Bromo.
Efek dari Latihan
Seperti
latihan apapun yang dijalankan dengan benar, berlatih Kateda
meningkatkan kebugaran jasmani, stamina dan relaksasi. Mempelajari
Kateda dianggap meningkatkan kekuatan pikiran, sistem saraf dan
pernafasan, koordinasi, keseimbangan dan naluri melalui semua jenis
kelompok otot.
Setelah mempelajari gerakan dasar seni
tersebut, dari nomor 1 hingga 10 dan terdiri atas beragam pukulan,
tangkisan, tendangan dan loncatan, murid-murid melalui proses
mempelajari pengendalian Central Power. Langkah-langkahnya menjadi
lebih kuat dengan gabungan Central Power.
Seperti seni
bela diri lainnya Kateda juga menjanjikan pengembangan spiritual,
melalui pembangkitan Central Power. Central Power dikembangkan melaui
pernafasan unik, latihan mental dan fisik. Salah satu latihannya
disebut “kei”, yang menandakan suatu hubungan dengan seni bela diri
lain. Ini mungkin sebuah kebetulan, tapi kemiripan dengan kata dalam
bahasa Cina Qi atau Chi terlihat jelas.
Keahlian seorang murid
dalam menyalurkan Central Power melalui Sistem Saraf diuji dengan
berbagai cara dalam latihan , sebagai contoh:
• Untuk pria, memecahkan bata dengan solar plexus
• Untuk wanita, menendang dan memecahkan bata dengan sisi kaki
• Menerima pukulan kepada solar plexus
• Menahan cekikan
• Pukulan cepat dan terus menerus kepada plat besi dengan buku jari
• Press-up dengan menggunakan buku jari dan meloncat di atas plat besi
• Dipukul oleh batang besi
• Dipukul dari segala arah oleh sebanyak delapan orang
Dengan
bertambah mahirnya seorang murid, keahlian lainnya dapat dilaksanakan.
Pengguna dapat melakukannya tanpa merasa sakit atau terluka. Jika
memar terjadi, ini dikarenakan keahlian seseorang dalam mengendalikan
Central Power tidak cukup.
Keuntungan secara fisik sudah jelas,
dengan murid menjadi kurus dan sangat kuat tapi tes fisik Kateda yang
terfokus pada sisi agresif diselimuti kontroversi. Sejak tahun 1980an
keberadaan tes fisik dalam pelatihan Kateda menurun drastis dan
beberapa tes yang disebut diatas tidak lagi dipakai oleh pengguna
utama.
Sistem Sabuk, Tingkat dan Grandmaster dalam Kateda
mengikuti sistem sabuk yang sudah dikenal, dengan murid baru memulai
dari sabuk putih, lalu menuju kuning, hijau, biru, coklat dan hitam.
Setelah
sabuk hitam, ada delapan tingkat. Tingkat 1 hingga 5 disebut “pelatih”
dan memakai seragam hitam dengan angka romawi merah. Tingkat 6 hingga 8
disebut “Master” dan diatas nya memakai jubah putih atau krem dengan
angka romawi merah besar.
Tingkat ke delapan adalah
tingkat yang tertinggi. Sedikit yang mencapainya dan dari sedikit orang
tersebut, seseorang dapat diberi gelar Wakil Grandmaster tapi ini
berdasarkan penilaian Grandmaster. Telah disebutkan bahwa Grandmaster
berikutnya akan dipilih dari Tingkat Delapan dan kemungkinan besar
adalah Wakil Grandmaster, tapi tidak ada jaminan.
Hanya
satu Grandmaster yang dapat berada dalam satu waktu. Murid Kateda
menyebutkan bahwa siapapun yang mampu menyerang Grandmaster dengan cara
apapun, di dalam atau di luar sesi latihan, maka mereka otomatis akan
menjadi Grandmaster berikutnya. Dalam kejadian langka seperti itu,
biasanya penyerang akan terpental oleh sang Grandmaster yang santai,
yang mungkin bahkan tidak melirik sekalipun, sementara murid-murid lain
yang terlihat heran menonton. Ini mirip sekali dengan cerita tentang
Seni Cina Yiquan.
Referensi dan pengaruh dari sabuk, tingkatan dan jubah
Sistem
sabuk dan pembagian tingkat di atas sabuk hitam menjadi pelatih,
Master dan Grandmaster memang hampir identik dengan yang digunakan di
seni bela diri Korea Tae Kwon Do. Ini tidak dengan mudah cocok dengan
sejarah umum seni tersebut.
Namun jubah hitam para pelatih
dan Master sangat mirip dengan yang dipakai di Pencak Silat, sebuah
seni bela diri Indonesia asli. Setelah Perang Dunia ke-2, Indonesia
meraih kemerdekaannya dan banyak organisasi bela diri berusaha
menyatukan beragam jenis pencak silat menjadi satu jenis. Akan
mengherankan jika Kateda dan Sindo tidak terpengaruh selama masa ini,
yang memiliki efek yang hebat terhadap seni bela diri Indonesia.
Keajaiban
mistis Central Power dan Tingkat Ketujuh telah diberitakan oleh para
murid; tentu legenda dan sejarah seni ini tergantung pada mistisisme
ini. Setelah mengembangkan teknik dasar, murid-murid dapat menahan
berbagai serangan fisik dan memukul plat besi tanpa terlihat sakit.
Akan teteapi setelah ini pelajarannya menjadi lebih terinternalisasi.
Setelah penelaahan intensif, murid dapat disebut telah mencapai
“tingkat” yang lebih tinggi dalam Central Power.
Ketika
mencapai Tingkat Ketujuh, murid-murid dikatakan sedang mengembangkan
keserbatahuan. Pencapaian tingkat ini diperlukan untuk menjadi murid
Tingkat Delapan. Grandmaster mampu berkomunikasi dengan Grandmaster
sebelumnya dengan teknik yang didapat ketika mencapai tingkat ketujuh.
Tingkat Central Power, dengan berurutan, berada dengan indikasi dimana pada suatu latihan dipelajari:
Pernafasan (sabuk putih)
Pengendalian otot (sabuk kuning dan hijau)
Gerakan fisik (sabuk biru dan coklat)
Konsentrasi pikiran (sabuk hitam)
Komunikasi Internal Heat (sabuk hitam)
Inner Vision (Pelatih dan Master)
Inner Voice (Master)
Murid
langsung berlatih dengan pernafasan pada tingkat sabuk putih. Harus
juga disebutkan penekanan pada “Satu Arah”, yaitu fokus penglihatan dan
perhatian pada satu titik. Teknik meditasi ini digunakan di setiap
kelas untuk memfokuskan pikiran dalam mengembangkan Central Power.
Apa Central Power dan apakah itu unik terhadap Kateda?
Pengguna
Kateda menggambarkan “Internal Heat” berasa seperti panas listrik yang
bergerak di sekitar tubuh ketika mereka membangkitkan Central Power
dan dapat diarahkan kepada tangan, kaki, solar plexus atau tempat lain.
Ini mirip dengan Ying (“keras”) Qigong, dimana penggunanya mengarahkan
Qi ke tempat-tempat tertentu di tubuhnya untuk menahan serangan atau
melakukan aksi spektakuler pengendalian tubuh lainnya. Selain itu,
pengguna Qigong mengatakan “dimana pikiran melaju, disitu Qi juga
melaju”, yang persisi dengan konsep Kateda dalam mengarahkan Central
Power dalam kendali sadar ke bagian-bagian tubuh. Memang, kateda
mengajarkan metoda mengasah kekuatan yang bernama “kei”, yang secara
bahasa mirip dengan istilah Cina “qi” atau “chi”. Malah, Sindo Indonesia
yang merupakan kerabat dekat Kateda menyatakan dalam situs webnya
bahwa Sindo adalah “seni beladiri terdekat ke Shaolin”.
Walau
asal mula Kateda dan seni beladiri Cina tradisional berbeda-beda,
kemiripan bahasa dan konsep menandakan asal yang sama, atau perkawinan
silang terus-menerus, walau bukti yang pasti hilang ditelan waktu. Akan
tetapi, ada kemungkinan kata “kei” adalah pinjaman yang lebih baru dari
bahasa Cina.
Orang-orang skeptis menyatakan bahwa tidak ada yang
namanya Qi dan aksi yang bergantung pada pembangkitannya mungkin hanya
bergantung pada Kekuatan Sugesti. Akan tetapi penganut mengarah pada
bukti yang sedang bertumbuh yang mendukung adanya biolistrik yang
berbeda dengan arus listrik yang berjalan pada sistem saraf untuk
tujuan gerak, kendali otot dan indera. Beberapa mengaku sudah memotret
qi dan Reiki bergerak dalam tubuh manusia.
Akan tetapi,
tingkat-tingkat tertinggi dalam Central Power, penglihatan dan Inner
Voice, tidak dengan mudah masuk ke dalam konsep ini. Kemampuan psikis
ini lebih cocok dengan ajaran spritual Yoga dan kemajuan terakhir dalam
fisika non-lokal yang keduanya menandakan adanya alam di balik
pancaindera kita dan dapat dijelaskan dengan fisika relativistik dan
Newtonian. Deepak Chopra telah menerbitkan banyak buku yang berusaha
menjelaskan topik-topik tersebut kepada penyimak Barat dan walau karya
ini menimbulkan kontroversi dalam lingkup konvensional, karya Chopra
telah mencapai banyak orang yang mengaku mendapat perubahan positif
stelah mengerti konsep ini. Orang-orang skeptis menyebutkan bahwa
Central Power dan qi tidak ada dan penyebutannya adalah cara yang cerdas
untuk membuat masyarakat membayar untuk “mempelajarinya”.
Baru-baru
ini, ada kontroversi signifikan dalam ruang chat internet di Yellow
Bamboo, turunan Tenaga Dalam. Kontroversi ini mengingatkan pada yang
meletus dalam Kateda di London, Inggris tahun 1990/1 dan pernyataan
tentang Yellow Bamboo, Tenaga Dalam dan Kateda memiliki kemiripan. Jika
Central Power memang ada, dapat dikatakan bahwa Kateda memiliki
kemiripan dengan seni lain, tapi bukti keberadaannya belum ada sampai
saat ini.
Seseorang dapat berteori bahwa Tenaga Dalam
adalah nama untuk cara mengendalikan sistem saraf otonom—melalui
pengaktifan inervasi simpatetis yang dipilih dalam tubuh, seseorang
dapat mengarahkan aliran darah menuju tempat yang dibutuhkan dalam
tubuh, sehingga meningkatkan kemampuan otot—seperti ledakan adrenalin
terkontrol, hanya saja melalui pengeluaran noradregenis dalam sambungan
saraf. Basis ini untuk dibangun lagi, dan istilah yang dipakai
seharusnya disetarakan. Seseorang juga harus memikirkan aspek
konsentrasi pikiran dalam latihan ini—diketahui bahwa manusia dapat
menjalankan tugas yang sangat sulit jika fokus maksimum diberikan;
sehingga tidak baik jika istilah tenaga dalam disamakan dengan “Chi”
atau “Qi Gong” yang memiliki unsur magis, tetapi lebih dalam melatih
diri menuju tingkat tertentu untuk memenuhi tujuan tertentu. Keadaan
“damai” yang telah diubah, seperti yang dilaporkan oleh pengguna, yang
mirip dengan istilah “high” yang dipakai pengguna narkoba, mungkin
disebabkan peningkatan serum endocannabinoid yang dihasilkan dalam
latihan. Denagn mempertimbangkan ini, dapat dikatakan Kateda, atau
latihan Kixa, menawarkan solusi yang baik untuk hidup dalam damai,
dalam keadaan sederhana, dapat memertahankan diri dari serangan luar,
dan bahagia dengan keadaannya; skenario ini dapat dianggap ideal di
kondisi yang lebih alami daripada masyarakat modern, walau dapat juga
cocok dengan masyarakat dimana uang tidak jadi pikiran. Ketidakcocokan
ini, dikarenakan fokus Kateda pada beladiri fisik dan kedamaian pikiran,
dapat diperbaiki jika latihan Kateda memasukkan pengembangan
intelektual guna menghadapi masyarakat modern. Pembukaan aula-aula
tengah di berbagai lokasi menyisipkan program pendidikan yang termasuk
aspek-aspek tersebut, juga yang sudah ada, dapat dilihat bahwa Kateda
mendapat popularitas yang dipertahankan; akan tetapi pendekatan seperti
ini harus pada awalnya diarahkan pada masyarakat yang berpikiran
terbuka, seperti yang dapat ditemukan di Dunia Ketiga, dan dikenalkan
dalam analogi ke pengenalan pendidikan kepada masyarakat yang lebih luas
di Inggris dengan adanya sekolah umum pada tahun 1300an.
Latihan
Latihan
biasanya dijalankan sekali atau dua kali seminggu dan bertempat di
kelas bercampur pada semua tingkat keahlian, yang dipimpin oleh sabuk
hitam atau yang lebih tinggi. Murid berlatih gerakan dasar 1 sampai
10, sederet gerakan kombinasi 11 sampai 20, dan Tenaga Dalam.
Bebearapa
mengaku merasakan “high” seperti yang dialami oleh pengguna obat keras
dalam latihan. Ini mungkin disebabkan oleh aliran endorfin yang
diciptakan oleh latihan yang keras.
Seseorang hanya dapat membayangkan hasil jika latihan beban digabung oleh latihan kixa pada kekuatan fisik yang dicapai.
Bertarung
Walau
Kateda adalah seni beladiri yang cukup agresif dengan penekanan yang
terlihat pada pendatang baru seperti pertahanan fisik ektrim dalam
segala bentuk, pertarungan tidak berperan dalam Beladiri Kateda dibawah
sabuk hitam. Murid di atas sabuk hitam melakukan pertarungan dengan
mengalirkan Tenaga Dalam ke kaki. Ini dilaksanakan di bawah pengawasan
ketat hanya sekali setelah orang tersebut telah mengembangkan mental
yang damai dan menunjukkan kontrol terhadap amarah dan agresi. Hanya
pada saat ini murid-murid diperbolehkan menggabungkan Tenaga Dalam dan
gerakan beladiri.
Grandtraining
Kateda
menyelenggarakan Grandtraining, yang berupa acara latihan akhir pekan
yang intensif. Melalui ini, murid-murid melaksanakan latihan Tenaga
Dalam dan beladiri intensif. Pemegang-tingkat diharapkan mendobrak
batas mereka dan tidak tidur, menjalankan latihan Tenaga Dalam dengan
sungguh-sungguh yang berguna menghangatkan mereka. Kondisi dibuat
begitu dasarnya dan sedikit makanan dibagikan, karena ini hendak
menyamakan kondisi keras Tibet dimana Kateda dikembangkan beribu tahun
yang lalu.
Buku Kateda
Nasution menulis buku
berbahasa Inggris yang berjudul “Kateda” yang dicetak di pertengahan
tahun 1980an. Buku ini sekarang sangat jarang ditemukan dan menjelaskan
berbagai aspek tenaga dalam, juga meletakkan ide Kekuatan Perdamaian
Dunia Baru. Tidak diketahui apakah buku ini adalah terjemahan buku asli
yang ditemukan Tagashi atau seberapa asli karya ini.